Archive for October, 2011

Psikologi Lintas Budaya (Kebudayaan Indis)

PENDAHULUAN

Sebutan Indis berasal dari istilah Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda dalam bahasa Indonesia. Itulah nama suatu daerah jajahan Pemerintah Belanda di Timur Jauh, dan karena itu sering disebut juga Nederlandsch Oost Indie. Orang Belanda pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 1619. Mereka semula berdagang tetapi kemudian memonopoli lewat VOC dan akhirnya menjadi penguasa sampai datangnya Jepang pada tahun 1942. Kehadiran orang-orang Belanda selama tiga abad di Indonesia tentu memberi pengaruh pada segala macam aspek kehidupan. Perubahan antara lain juga melanda seni bangunan atau arsitektur.
Pada mulanya bangunan dari orang-orang Belanda di Indonesia khususnya di Jawa, bertolak dari arsitektur kolonial yang disesuaikan dengan kondisi tropis dan lingkungan budaya. Sebutannya landhuiz, yaitu hasil perkembangan rumah tradisional Hindu-Jawa yang diubah dengan penggunaan teknik, material batu, besi, dan genteng atau seng. Arsitek landhuizen yang terkenal saat itu antara lain Wolff Schoemaker, DW Berrety, dan Cardeel.
Dalam membuat peraturan tentang bangunan gedung perkantoran dan rumah kedinasan Pemerintah Belanda memakai istilah Indische Huizen atau Indo Europeesche Bouwkunst. Hal ini mungkin dikarenakan bentuk bangunan yang tidak lagi murni bergaya Eropa, tetapi sudah bercampur dengan rumah adat Indonesia.
Di Surabaya, bangunan tersebut nampak pada gedung-gedung cagar budaya yang sebagian besar terdapat di wilayah Surabaya bagian Utara. Misalnya gedung tinggi nan kokoh yang sekarang digunakan sebagai Bank Mandiri, kawasan Pabean, dah kompleks wahana pemerintahan, seperti kediaman gubernur dan hotel. Hala ini pun sebenarnya terlihat di beberapa kota besar lainnya, seperti Jakarta dan Semarang. Umumnya bangunan tersebut tinggi dan memiliki banyak jendela. Demikian juga di kota Malang yang memiliki arsitektur dan pengaruh budaya insdies yang kuat.
Pengaruh budaya Barat terlihat pada pilar-pilar besar, mengingatkan kita pada gaya bangunan Parthenon dari zaman Yunani dan Romawi. Lampu-lampu gantung dari Italia dipasang pada serambi depan membuat bangunan tampak megah terutama pada malam hari. Pintu terletak tepat di tengah diapit dengan jendela-jendela besar pada sisi kiri dan kanan. Antara jendela dan pintu dipasang cermin besar dengan patung porselen. Khusus untuk gedung-gedung perkantoran, pemerintahan, dan rumah-rumah dinas para penguasa di daerah masih ditambah lagi dengan atribut-atribut tersendiri seperti payung kebesaran, tombak dan lain-lain agar tampak lebih berwibawa.

Tinjauan Pustaka
Teori Kebudayaan Indis
Mengambil periodisasi perkembangan kebudayaan Indonesia di Jawa pada abad ke-18 sampai pertengahan abad ke-20, buku ini mengulas rinci proses pembentukan kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan dan gaya hidup Indis. Dalam buku ini dibahas antara lain tentang bahasa Indis, pakaian, arsitektur, alat transportasi, hingga mata pencaharian kelompok masyarakat ini. Penulis memfokuskan pada perpaduan budaya Barat dan unsur-unsur budaya Timur, khususnya budaya Jawa. Pertukaran terjadi dalam beberapa bentuk dalam matriks, anatara lain, pertukaran langsung, pertukaran tergeneralisasi dan pertukaran produktif. Dalam pertukaran langsung (Direct Exchange), timbal balik dibatasi pada kedua aktor yang terlibat. Pertukaran tergeneralisasi (Generalized Exchange) melibatkan timbale balik yang bersifat tidak langsung. Seseorang memberikan kepada orang lain, dan penerima merespon tetapi tidak kepada orang pertama.akhirnya, pertukaran dapat bersifat produktif, yaitu kedua aktor harus saling berkontribusi agar keduanya memperoleh keuntungan.
Budaya Indis Dan Stratifikasi Sosial
Sentuhan pertama yang terjadi antara bangsa Indonesia dan bangsa Belanda terjadi ketika ekspedisi Cornelis de Houtman berlabuh di pantai utara Jawa guna mencari rempah rempah. Pada perkembangan selanjutnya terjadi hubungan dagang antara bangsa Indonesia dengan orang orang Belanda. Hubungan perdagangan tersebut lambat laun berubah drastis menjadi hubungan antara penjajah dan terjajah, terutama setelah didirikannya VOC. Penjajahan Belanda berlangsung sampai tahun 1942, meskipun sempat diselingi oleh Inggris selama lima tahun yaitu antara 1811-1816. Selama kurang lebih tiga ratus lima puluh tahun bangsa Belanda telah memberi pengaruh yang cukup besar terhadap kebudayaan Indonesia.
Kolonialisme Belanda di Indonesia depat dibagi menjadi beberapa tahapan yaitu :
(1). Fase antara 1602-1800 : yaitu fase ketika Belanda dengan VOC menggalakkan handels kapitalisme.
(2). Fase antara 1800-1850 : fase ini diselingi oleh penjajahan Inggris, pada masa ini Belanda menciptakan dan melaksanakan cultuurstelsel.
(3). Fase antara 1850-1870 ; cultuurstelsel dihapus diganti oleh politik liberal kolonial.
(4). Fase setelah 1800 : makin bertambah perusahaan asing yang ada di Indonesia akibat politik open door negeri Belanda.
pada kebudayaan Indonesia, baik yang bersifat rohani, maupun yang terkait dengan produk fisik kebudayaan. Menurut Raymond Kennedy kolonialisme Belanda memiliki ciri ciri pokok sebagai berikut:
(1). Membeda-bedakan warna kulit (color line).
(2). Menjadikan tempat jajahan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi negara induk.
(3). Perbaikan sosial sedikit.
(4). Jarak sosial yang jauh antara bangsa terjajah dengan penjajah.
Dari ciri ciri pokok di atas poin pertama dan poin keempat tercermin dalam stratifikasi sosial yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Stratifikasi sosial tersebut sebagai berikut :
(1). Golongan pertama : orang Belanda dan orang asing ( kulit putih).
(2). Golongan kedua : orang timur asing.
(3). Golongan ketiga : orang pribumi. Pembedaan golongan kelas sosial berdasar warna kulit tersebut diikuti dengan pembedaan hak dan kewajiban yang diterima. Hal ini berujung untuk menjaga prestise pemerintah kolonial dengan menciptakan superioritas orang kulit putih dan inferioritas pribumi.
Masyarakat Jawa sebelum masa kolonial Belanda, telah memiliki stratifikasi sosial secara tradisional. Stratifikasi sosial tersebut menggunakan ukuran kedudukan jabatan di pemerintahan. Stratifikasi sosial masyarakat Jawa sebelum kolonial sebagai berikut :
(1). Raja sebagai puncaknya.
(2). Keluarga raja / bangsawan.
(3). Pejabat tinggi, pembantu pribadi / pengikut raja.
(4). Kaum rohaniawan.
(5). Pejabat rendahan. Secara umum status sosial tertinggi dimiliki oleh raja dan bangsawan / keturunan raja, kemudian pejabat sipil, militer, agama, kehakiman, kecuali ulama istana, golongan tersebut yang disebut matri.
Ada pemisahan antara stratifikasi sosial di pemerintahan pusat dengan di daerah. Pemuka daerah dipandang lebih rendah kedudukannya dengan pejabat di luar pemerintahan. Stratifikasi sosial di daerah terdiri dari :
(1). Akuwu dan anden merupakan golongan tertinggi.
(2). Pemuka agama.
(3). Petani.
(4). Hamba sahaya. Secara umum kedudukan seseorang dalam masyarakat Jawa tradisional diukur dengan dua kriteria :
(1). Prinsip kebangsawanan yang berakar dari hubungan darah dengan orang yang memiliki jabatan di pemerintahan.
(2). Prinsip kebangsawanan yang didasarkan dari posisi dalam hierarki birokratis.
Orang yang memiliki status sosial akibat adanya hubungan darah dipandang kedudukannya lebih tinggi dari yang didasarkan dari posisinya dalam hierarki birokratis. Hal ini kemudian ditunjukkan dengan tingkat gelar serta nama kedudukannya. Orang orang yang memiliki status kebangsawanan tersebut merupakan kaum priyayi. Priyayi adalah kaum elit yang secara tradisional, memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari rakyat biasa.
Pada masa peralihan dari kekuasaan feodal menjadi kekuasaan kolonial menghilang. Hal ini karena kehidupan sosio-ekonomi masyarakat Jawa tidak mengalami perubahan yang fundamental. Namun status sosial bangsa Indonesia yang dibawah bangsa asing baik kulit putih maupun timur asing memberi dampak pada stratifikasi sosial tradisional masyarakat Jawa. Adanya warna kulit yang menjadi ukuran status sosial menjadikan Bangsa Belanda posisinya di atas pribumi, termasuk raja. Meskipun raja dan keluarganya masih ditempatkan di atas bangsa timur asing. Ukuran warna kulit menjadikan bangsa Belanda yang golongan kecil tetapi memiliki hak istimewa ditempatkan di atas pribumi yang mendapat jabatan di atas pribumi yang harus diangkat berdasar keahlian.
Meskipun raja dan keluarganya di tempatkan di atas bangsa timur asing, priyayi tetap berada dibawah kaum timur asing termasuk golongn pribumi. Masyarakat tradisional Jawa sendiri terbagi menjadi dua yaitu : priyayi dan rakyat biasa atau wong cilik. Priyayi merupakan orang yang berkelas tinggi yang merupakan golongan elit masyarakat Jawa, yang dapat diukur dari tiga aspek :
(1). Tradisional : pegawai istana sultan.
(2). Kolonial : pengelola kantor pribumi.
(3). Keturunan : gelar priyayi meski bukan pegawai pemerintah.
Pada masa kolonial Belanda ukuran untuk disebut sebagai priyayidigunakan ukuran pekerjaan dan keturunan. Dan pada masa itu untuk golongan pekerjaan tertentu yang ukurannya tinggi bagi pribumi tidak dapat sembarang orang menduduki. Misalnya, pengangkatan seorang pegawai tingkat wedana ke atas digunakan asas keturunan. Hanya keturunan wedana ke atas yang dapat menduduki. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua orang dapat menjadi priyayi.
Golongan priyayi pada masa kolonial Belanda yang didasarkan pada jabatan kepegawaian status sosialnya sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya jabatan. Makin tinggi jabatan makin tinggi status sosialnya, baik dalam tataran pribumi secara umum maupun dalam kelompok priyayi. Perbedaan status sosial antar kaum priyayi dibagi sebagai berikut :
(1). Pangreh praja /pejabat pemerintah daerah. Tertinggi bagi priyayi, diukur dari sifat kebangsawanan.
(2). Bukan pangreh praja : golongan terpelajar dari golongan tiyang alit (wong cilik) yang medapat kedudukan dari pendidikan.
Kota Malang merupakan kota terbesar kedua di propinsi Jawa Timur yang telah lama berdiri sejak zaman kolonial Belanda. Pada zamannya, perencanaan kota Malang sering disebut sebagai salah satu hasil perencanaan kota kolonial yang terbaik di Hindia Belanda. Kota Malang yang kita huni didesain dengan konsep arsitektur kolonial, yang karena nilai estetis dan historisnya yang tinggi patut untuk dipertahankan.
Salah satu sebab mengapa warisan arsitektural dari masa itu yang berupa bangunan kolonial masih dapat dinikmati oleh masyarakat modern adalah karena kekhasan bentuk bangunannya. Para arsitek Belanda yang merancang bangunan-bangunan kolonial di Indonesia pada era 1910-an hingga 1940-an telah berhasil memadukan arsitektur Eropa, khususnya Belanda, dengan teknologi bangunan daerah tropis. Bangunan-bangunan tersebut tetap memiliki gaya Eropa, namun tetap sesuai untuk dihuni di daerah tropis.
Keunikan bangunan inilah yang membedakan bangunan kolonial Belanda dengan bangunan lainnya. Pada bangunan kolonial, terdapat berbagai ciri-ciri khusus yang menghubungkan satu bangunan dengan bangunan lainnya, terutama pada fasade bangunan yang terlihat pertama kali oleh pengunjung.
Kota Malang telah dikuasai Belanda sejak tahun 1767, namun baru berkembang pesat pada awal abad ke-20. Perkembangan yang pesat dalam perencanaan perluasan kota Malang sangat dipengaruhi dari berdirinya Gemeente Malang pada 1 April 1914 dibawah pimpinan walikota pertama, H.I Bussemaker. Perencana utama perkembangan kota Malang pada masa itu adalah Ir. Herman Thomas Karsten, dengan memperhatikan aspek kenyamanan view yang berorientasi pada pemandangan gunung-gunung sekitar kota Malang.
Rencana kota Malang 1920, yang dibuat oleh Ir Thomas Kartsen, merupakan fenomena baru bagi perencanaan kota-kota di Indonesia, kaidah-kaidah perencanaan modern telah memberikan warna baru bagi bentuk tata ruang kota, seperti penggunaan pola boullevard, bentuk-bentuk simetri yang menonjol dan sangat disukai pada periode renaisance.
Bentuk dan tata ruang pusat kota yang terbentuk pada masa pemerintahan Belanda, yang lebih ditujukan bagi kepentingan politis pemerintahan belanda (mengutamakan masyarakat Belanda), ternyata telah menghasilkan bentukan morfologi kota yang cenderung meniru bentuk-bentuk arsitektur gaya Eropa seperti Art Deco, Renaisance, Baroqe dan sebagainya. Dalam konteks historis sebenarnya keberadaan bangunan peninggalan Belanda merupakan potensi (asset) yang dapat dikembangkan bagi perkembangan arsitektur kota Malang. Melalui aturan-aturan produk kolonial, ternyata telah memberikan warna pada bentukan fisik lingkungan baik gaya arsitektur maupun pola-pola tata ruang yang terbentuk.
Meskipun gaya arsitektur yang ditunjukkan masih banyak dipengaruhi gaya arsitektur Belanda, tapi pada umumnya bentuk arsitektur bangunan sudah beradaptasi dengan iklim setempat. Hal ini dapat terlihat dari bentuk denah dengan menempatkan galery keliling bangunan dengan maksud supaya sinar matahari langsung dan tampias air hujan tidak langsung masuk jendela atau pintu. Adanya atap susun dengan ventilasi atap yang baik serta overstek yang cukup panjang untuk pembayangan tembok.
Contoh bangunan kolonial Belanda adalah :
(a) Javasche Bank (sekarang Bank Indonesia disebelah utara alun-alun dibangun tahun 1915).
(b) Palace Hotel (sekarang hotel Pelangi terletak di sebelah selatan alun-alun dibangun tahun 1916).
(c) Kantor Pos dan Telegram (sekarang sudah dibongkar terletak di Jalan Basuki Rahmat dibangun antara tahun 1910-an).
Menurut Handinoto dalam buku Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda 1870-1940, bentuk arsitektur kolonial Belanda di Indonesia sesudah tahun 1900-an merupakan hasil kompromi dari arsitektur modern yang berkembang di Belanda yang disesuaikan dengan iklim tropis basah Indonesia. Hasil keseluruhan dari arsitektur kolonial Belanda di Indonesia adalah suatu bentuk khas.
Kekhasan tersebut terletak pada :
(a) Penggunaan Gewel (Gable) pada tampak depan bangunan. Gewel adalah bagian berbentuk segitiga dari bagian akhir dinding atap dengan penutup atap yang melereng.
(b) Penggunaan tower pada bangunan. Tower adalah bangunana berstruktur tinggi, dapat berdiri sendiri maupun menjadi bagian dari bangunan dengan penerangan dan peralatan internal seperti tangga, dan atap yang jelas. Di Indonesia biasanya membuat tower yang ujungnya diberi atap menjadi mode pada arsitektur kolonial Belanda pada awal abad ke-20. (c) Penggunaan dormer pada atap bangunan Dormer adalah jendela atau bukaan lain yang terletak pada atap yang melereng dan memiliki atap tersendiri. Bingkai dormer biasanya diletakkan vertikal diatas gording pada atap utama.
Pengaruh Eropa mendominasi bangunan-bangunan tersebut khususnya bangunan arsitektur kolonial Belanda, perlu diperhatikan bahwa aspek iklim tropis selalu dipertimbangkan dalam desain bangunan Belanda. Hal itu dapat dilihat pada atap dengan sudut kemiringan yang besar, ventilasi yang baik dan jarak antara lantai dan langit-langit yang tinggi. Teras depan dan teras belakang yang umum ditemukan pada sebagian besar bangunan kolonial Belanda memiliki beberapa fungsi: koridor, ruang antara dari lingkungan luar dengan lingkungan dalam serta isolator panas. Teras ini juga identik dengan Peringgitan dalam rumah joglo di Jawa.

PEMBAHASAN
Awal Kehadiran Orang Belanda
Pada awal kehadiran belanda, VOC mendirikan gudang-gudang untuk meninbun barang dagangan yang berupa rempah-rempah yang berlokasi di banten, jepara, jayakarta. Gudang ini pula berfungsi sebagai kantor dagang dan memperkuatnya sebagai benteng pertahanan dan tempat tinggal. Gudang sekaligus benteng pertahanan tersebut di bangun di tepi timur kali ciliwung.
Kehadiran orang belanda di indonesia yang kemudian menjadi penguasa mempengaruhi gaya hidup, bentuk bangunan rumah tradisional serta fungsi ruangannya serta alat perlengkapan tradisional daerah jawa juga mengalami perubahan.
Dengan demikian kebudayaan barat (belanda) dalam hal gaya hidup berumah tangga seharihariserta ketujuh universal kebudayaan yaitu bahasa, peralatan dan perlengkapan hidup manusia, mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, kesenian, ilmu pengetahauan dan religi ikut terpengaruh pula. tujuh unsur universal budaya yang merupakan campuran unsur budaya belanda dan pribumi inilah yang di sebut kebudayaan indis. Istilah indis di kenal luas oleh masyarakat dengan berdirinya partai-partai politik seperti indische partij yang di dirikan oleh douwes dekker, tjipto mangun kusumo, dan suwardi suryaningrat pada 1912.
Sebagai fenomena historis, gaya hidup dan budaya indis sangat erat hubungannya dengan faktor politik kolonial. Dalam membahas kebudayaan indis, penelaahan hubungan antar bangsa belanda dan jawa secara berlebih mendalam sangat di perlukan mengingat kedua budaya saling tergantung dan saling menghidupi. Perekmbangan kebudayaan indis berakhir bersamaan dengan runtuhnya kekuasan hindia belanda ketangan kekuasaan balatentara jepang selama 3,5 tahun.
Masyarakat Pendukung Kebudayaan Indis
Sejak abad ke 18 sampai awal abad 20 muncul golongan sosial baru sebagai pendukung kuat kebudayaan campuran (belanda-jawa ) di daerah jajahan hindia belanda. Hal itu di sebabkan oleh besarnya pengaruh kebudayaan belanda di pulau jawa. Burger menyebutkan ada 5 golongan masyarakat baru di atas desa yaitu:
1. golongan pamongpraja bangsa belanda
2. golongan pegawai indonesia baru
3. golongan pengusaha partikelir eropa
4. golongan akademisi indonesia (sarjana hukum, insinyur, dokter, guru, ahli pertanian, dan ilmu-ilmu lainnya)
5. golongan menengha indonesia yaitu para pengusaha indonesia yang mempunyai usaha di bidang perniagaan dan kerajinan.Golongan yang terakhir ini merupakan golongan orang kaya baru tapi justru kurang di anggap oleh golongan di atasnya, para bangsawan jawa justru memperlakukannya sebagai wong cilik.
Dalam proses akulturasi dua kebudayaan tersebut peran penguasa kolonial di hindia belanda sangat menentukan dan bangsa indonesia menerima nasib sebagai bangsa terjajah serta menyesuaikan diri sebagai aparat penguasa jajahan / kolonial. Hasil perpaduan menunjukkan bahwa ciri-ciri barat (eropa) tampak lebih menonjol dan dominan.Sejak akhir abad ke 18 sampai awal abad 20 bahasa melayu pasar mulai berbaur dengan bahasa belanda. Pembauran ini berawal dari bahasa komunikasi yang di gunakan oleh keluarga dalam lingkungan ” indische landshuizen” yang selanjutnya di gunakan oleh golongan indo-belanda. Bahasa ini kemudian berkembang di batavia. Di jawa tengah dan jawa timur proses perpaduan belanda dan jawa terjadi hanya pada sebagian masyarakat pendukung kebudayaan indis. Proses ini menibulkan bahasa pijin/ campuran yang pada umumnya di gunakan oleh orang-orang keturunan belanda dengan ibu jawa oleh cina keturunan dan timur asing..
Enkulturasi adalah suatu proses pembentukan budaya dari dua bentuk kelompok budaya yang berbeda sampai munculnya pranata yang mantap.
Dalam pembahasan kajian teologis, enkulturasi religi di artikan sebagai rancang bangun teologi lokal. Enkulturasi religi sebagi rancang bangun lokal di sebut inkulturasi. Keberhasilan inkulturasi tidak hanya berdampak pada munculnya kesinambungan budaya dan agama ttapi berdampak pada munculnya kestabilan idiologi, politik dan sosial sejalan dengan kondisi zaman penjajahan.
Gaya Hidup Masyarakat Indis
Gaya hidup semacam di landhuizen itu tidak dikenal di negeri Belanda. Lama-kelamaan kota-kota pionir macam Batavia, Surabaya, dan Semarang yang terletak di hilir sungai dianggap kurang sehat karena dibangun di atas bekas rawa-rawa. Mereka kemudian memindahkan tempat tinggalnya ke permukiman baru di daerah pedalaman Jawa, yang dianggap lebih baik dan sehat. Di sini mereka mendirikan rumah tempat tinggal dan kelengkapannya yang disesuaikan dengan kondisi alam dan kehidupan sekeliling dengan mengambil unsur budaya setempat. Pertumbuhan budaya baru ini pada awalnya didukung oleh kebiasaan hidup membujang para pejabat Belanda. Larangan membawa istri (kecuali pejabat tinggi) dan mendatangkan wanita Belanda ke Hindia Belanda memacu terjadinya percampuran darah yang melahirkan anak-anak campuran dan menumbuhkan budaya dan gaya hidup Belanda-Pribumi, atau gaya Indis.Kata “Indis” berasal dari bahasa Belanda Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda, yaitu nama daerah jajahan Belanda di seberang lautan yang secara geografis meliputi jajahan di kepulauan yang disebut Nederlandsch Oost Indie, untuk membedakan dengan sebuah wilayah jajahan lain yang disebut Nederlandsch West Indie, yang meliputi wilayah Suriname dan Curascao.
Konsep Indis di sini hanya terbatas pada ruang lingkup di daerah kebudayaan Jawa, yaitu tempat khusus bertemunya kebudayaan Eropa (Belanda) dengan Jawa sejak abad XVIII sampai medio abad XX. Kehadiran bangsa Belanda sebagai penguasa di Pulau Jawa menyebabkan pertemuan dua kebudayaan yang jauh berbeda itu makin kental. Kebudayaan Eropa (Belanda) dan Timur (Jawa), yang berbeda etnik dan struktur sosial membaur jadi satu.Golongan masyarakat atas adalah pendukung utama kebudayaan Indis. Dalam membangun rumah tempat tinggal gaya Indis, golongan pengusaha atau pedagang berperan cukup besar, misalnya mereka yang tinggal di Laweyan (Surakarta), dan Kotagede (Yogyakarta). Pada masa VOC, secara garis besar struktur masyarakat dibedakan atas beberapa kelompok. Masyarakat utama disebut signores, kemudian keturunannya disebut sinyo. Yang langsung merupakan keturunan Belanda dengan pribumi “grad satu” disebut liplap, sedang “grad kedua” disebut grobiak, dan “grad ketiga” disebut kasoedik. Liplap biasanya menjadi pedagang atau pengusaha, yang sangat disukai menjadi pedagang budak karena mendapat untung banyak. Ada pun grobiak kebanyakan menjadi pelaut, nelayan, dan tentara, sedangkan kasoedik mata pencariannya menjadi pemburu dan nelayan. Telundak untuk santaiRumah-rumah mewah milik para pejabat tinggi VOC menjadi pioner berkembangnya kebudayaan Indis. Pembangunan rumah pesanggrahan oleh para pembesar kompeni misalnya, diawali dengan mendapatkan sebidang tanah berupa hutan. Semula mereka mendapatkan hak milik dari penguasa tertinggi Hindia Belanda. Rumah dan gereja kecil di Depok, misalnya, pembangunannya diprakarsai sendiri oleh Chastelijn, pemiliknya. Rumah dan kebun tuan tanah Materman (yang kini mengingatkan nama daerah Matraman), dilaksanakan oleh tuan tanahnya sendiri. Rumah tempat tinggal Belanda masa awal di Jawa mempunyai susunan khas mirip dengan yang ada di negeri asalnya.
Di lain sisi rumah mewah dan rumah tinggal di luar benteng dibangun dalam lingkungan alam dunia Timur, atau Jawa. Sehingga hasil akhirnya adalah bentuk campuran, yakni tipe rumah Belanda dengan bentuk rumah pribumi Jawa. Rumah-rumah bergaya Indis. Bangunan rumah mewah semula dipergunakan oleh orang-orang Belanda sebagai tempat tinggal di luar kota, yang kemudian juga didirikan di wilayah-wilayah baru di Batavia. Corak bangunan rumah tinggal demikian ini mirip dengan rumah para pedagang kaya di kota lama Baarn atau Hilversum, Belanda. Ciri menonjol pada rumah-rumah Belanda di Batavia ialah adanya telundak (semacam teras) yang lebar. Telundak yang luas itu bukan sekadar sebagai bagian dari sebuah bangunan rumah, tetapi mempunyai arti dan kegunaan khusus, sebagai sarana hubungan sosial. Telundak menjadi tempat bertemu yang ideal antarkeluarga dan tetangga. Telundak yang lebar ini kebanyakan digunakan untuk duduk santai dan menghirup udara segar di sore hari. Pada masa berikutnya, pada sudut-sudutnya ditaruhkan bangku. Sebuah pagar rendah dibuat untuk memisahkan dari trotoar jalan, yang lalu dihilangkan guna mendapatkan ruang yang lebih luas.
Gaya hidup dan bangunan rumah Indis pada tingkat awal cenderung banyak bercirikan budaya Belanda. Hal ini terjadi karena para pendatang bangsa Belanda pada awal datang ke Indonesia membawa kebudayaan murni dari Belanda. Pengaruh afektif kebudayaan Belanda yang sangat besar lambat laun makin berkurang, terutama setelah anak keturunannya dari hasil perkawinan dengan bangsa Jawa makin banyak.Perkawinan di antara mereka melahirkan masyarakat Indo. Mereka menyadari akan perlunya kebudayaan Belanda untuk tetap diunggulkan sebagai upaya untuk menjaga martabat sebagai bangsa penguasa. Masyarakat Indo dan para priyayi baru ini masih tetap menganggap perlu tetap adanya budaya masa lampau yang dibanggakan. Mereka menganggap perlunya menggunakan budaya Barat demi karier jabatan dan prestisenya dalam hidup masyarakat kolonial. Hal semacam ini tampak, misalnya dalam cara mereka bergaul, dalam kegiatan hidup sehari-hari, seperti menghargai waktu, cara dan disiplin kerja, dsb.
Lingkungan Permukiman Masyarakat Eropa, Indis dan Pribumi
A. Sumber – sumber tentang Pola Lingkungan Permukiman
Pola permukiman, bentuk rumah tinggal tradisional dan bangunan rumah tinggi gaya Indis tercatat dalam berbagai sumber. Sumber yang paling banyak adalah berita tulis buah karya orang jawa, belanda (Eropa) serta orang asing lainnya. Selain itu, terdapat peninggalan bangunan yang hingga saat ini masih ada dan digunakan sebagai tempat tinggal atau keperluan lain. Sumber lain yang juga dapat digunakan sebagai sumber berita ialahhasil karya yang berupa lukisan, skets dan graver buah karya para musafir, peneliti alam, pejabat VOC dan dokumentasi pemerintah kolonial. Setelah dikenal pengguanaan alat pemotretan, hasil fotografi merupakan sumber berita penting yang dapat digunakan untuk melengkapi sumber – sumber tersebut.
1. Berita dari Karya Tulis
Berita tertulis tentang wilayah pemukiman yang kemudian berkembang menjadi kota, sudah lama dikenal sebelum ada abad ke -19. dalam disertasi FA. Soetjipto tentang kota – kota pantai disekitar Selat Madura terdapat informasi tentang sumber – sumber berita tertulis Pribumi, antara lain berupa babad, kidung maupun serat, baik yang maih berupa manuskrip maupun yang sudah dicetak dengan jumlah cukup banyak. Karya – karya tulis ini banyak ditulis didaerah pantai (pesisir) dan pedalaman Pulau Jawa.
Manuskrip tersebut antaralain Babad Negeri Semarang, Babad Tuban,Babad Gersik, Babad Blambangan, Babad Kitho Pasoeroean, Babad Lumajang dan Babad Banten. Yang berupa cerita perjalanan R.M. Poerwolelono. Kitab – kitab tersebut memberitakan dan menerangkan berbagai aspek kehidupan suku jawa,dan secara tidak langsung juga memberitakan tentang kota, rumah, adat, sejarah dan sebagainya.
Menggunakan sumber – sumber berupa babad, serat atau cerita perjalanan seperti tersebut di atas memerlukan ketelitian dan sikap kritis dalam memahaminya karena kitab – kitab tersebut memang tidak dimaksudkan sebagai karya sejarah, tetapi lebih bersifat karya sastera.
2. Sumber Tertulis dari Bangsa Eropa
Sumber tertulis tentang Pulau Jawa yang berupa cerita atau laporan perjalanan sudah ditulis pada abad ke-18 dan abad ke-19 cukup banyak, antara lain berupa Rapporten, Missiven, Memories van Overgave (naskah serah terima jabatan). Reis bechrijvingen (catatan perjalanan), Daaghregisters (catatan harian Kompeni di Batavia) dan Contracten (naskah – naskah perjanjian antara Kompeni dan kelapa – kelapa bangsa Pribumi).

Manuskrip yang berupa berita tentang kota dan kehidupan masyarakatnya pada abad ke-18 dan abad ke-19 banyak ditulis dalam kisah perjalanan di Hindia Belanda, khususnya Jawa. Karya dari pengalamn pribadi itu sangat mengasyikan untuk dibaca untuk menambah wawasan gambaran hidup sezaman yang meliputi tujuh unsur pokok universal kebudayaan indis di Jawa.
3. Berita Visual
Berita visual berasal dari karya lukisan, sketsa, grafis dan potrer. Selain berita dari karya – karya tulis yang sudah disebutakan pada sub-bab sebelumnya, penggambaran kota, permukiman dan perumahan dapat juga diikut secara visual lewat lukisan para pelukis Eropa yang datang ke Indonesia. Lukisan yaitu suatu lukisan dengan teknik encreuk relief yang dipahatkan pada lempengan tembaga atau perunggu sangat populer. Dalam melukis, pelukis antara lain menggunakan cara penglihatan mata burung (vogel vlucht). Karya – karya itu dilukis oleh para pelukis yang mengikuti perjalanan, pelayaran atau ekspedisi. Karya mereka berupa lukisan kota – kota pantai, seperti Batavia, Jepara, Banten, Gersik dan sebagainya.
4. Karya Berupa Fotografi
Karya berupa fotografi sangat banyak tersimpan di gedung KITLV Laiden dan berbagai museum Belanda. Menurut Gedung Arsip Nasional Republik Indonesia di Pejaten (Jakarta), disebut oleh direkturnya, tersimpan tidak kurang dari 1.000.600 buah foto dari masa sebelum Perang Dunia II.
Sejak kehadiran kapal – kapal dagang Belanda pertama kedunia Timur, mereka sudah membawa serta para pelukis. Hasil lukisan mereka terutama digunakan untuk kelengkapan laporan kepada Heeren Zeventien di Belanda. Ada lukisan yang dimaksudkan sebagai kenang – kenangan atau sebagai hadiah keluarga. Ada pula yang dimaksud untuk diperjualbelikan. Objek lukisan ialah keadaan negeri – negeri yang dikunjungi, seperti kota – kota pantai, kehidupan masyarakat sehari – hari, adat-istiadat, rumah tempat tinggal dan sebagainya. Banyak di antara lukisan yang dihasilkan menunjukan kekayaan, kebesaran dan kekuasaanpara raja di berbagai negara yang disinggahi kapal – kapal VOC tersebut. Hal yang sama juga dilakukan oleh para pelukis dan awak kapal Inggris dan Prancis yang mengunjungi Hindustan dan Persia
B. Mengamati Seni Bangunan Rumah dari Hasil Karya Seni Lukis, Pahat, Foto dan Karya Sastera
Mengenal kembali sesuatu hasil seni bangunan rumah dari silam yang umumnya sudah rusak merupakan hal yang menarik. Menarik karena materialnya yang lapuk dimakan zaman, diubah bentuknya atau dirombak karena tidak sesuai lagi dengan selera zaman, kecuali dari banguan aslinya atau reruntuhan yang ada, dapat pula melalui benda – benda lain. Adapun benda – benda lain berupa karya lukis, karya sastera, foto gravir. Sketsa, relief atau bend lain seperti maket yang dibuat oleh museum atau lembaga – lembaga penelitian.sebagai contoh, tentang bentuk bangunan rumah Jawa zaman Majapahit atau zaman Jawa Hindu, orang dapat melihatnya dari gambar relief candi atau hasil seni sastera sebagai Nagara Kertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca.
Melalui karya seni lukis, foto gravir, relief dan karya sastera, kini orang dapat mengetahui hasil seni bangunan rumah dan perabotan milik bangsa Belanda dan anak keturunannya di Indonesia. Dengan demikian orang tidak harus selalu mencari banguan rumah aslinya, tetapi dapat pula melihatnya dari hasil – hasil karya seni lukis yang dilukis pada waktu bangunannya dalam keadaan utuh. Dalam seni lukis abad ke-17 sampai abad ke-19, sedikit sekali kemingkinan para pelukis memalsukan objek yang dilukis. Pendapat ini didasarkan atas beberapa alasan.
Pertama, para pelukis naturalis yang hidup pada abad ke-17 sampai abad ke-19 adalah pengikut yang terpengaruh oleh gaya terperiode Renaisans dan Barok. Pada masa itu “naturalisme” dan “akademisme” hidup dengan subur dikalangan seniman lukis Eropa. Dengan demikian, di dalam lukisan – lukisan seniman Belanda pada zaman ini besar sekali kemungkinannya bahwa apa yang dilukis benar – benar ada dan tepat sesuai dengan bangunan serta keadaan pada waktu itu. Sehingga dengan demikian, hasil karya lukis dari zaman itu bernilai setara dengan hasil pemotretan dengan foto kamera pada abad ke-20.
Kedua, beberapa penulisan dan pelukis lazim menggambarkan bangunan rumah serta pemandangan alam sekitarnya, misalnya rumah milik Groeneveld di Tanjung Timur (dilukiskan keindahanyan oleh penulis Johannes Oliver dan Roorda van Eysinga).
Ketiga, terdapat adanya suatu kebiasaan para pembesar VOC dan Hindia Belanda, terutama para gubernur jendral di Batavia dan para bangsawan kaya, meminta seniman melukis rumah tempat tinggaldan keluarga mereka sebagai kebanggan atau kenang – kenangan keluarga. Hal ini sama dengan orang dari abad sekarang yang memotret rumah dan keluarga untuk dipasang pada dinding rumah atau dikirim pada sanak keluarganya dengan maksud yang sama, yaitu sebagai kenangan atau pamer.
Ragam Hias Rumah Tinggal
Percampuran budaya Eropa (Belanda) dengan budaya lokal yang meliputi seluruh aspek tujuh unsur universal budaya, menimbulkan budaya baru yang didukung sekelompok masyarakat penghuni kepulauan Indonesia, yang disebut dengan budaya Indis. Budaya Indis kemudian juga ikut mempengaruhi gaya hidup masyarakat ditanah Hindia-Belanda. Gaya hidup Indis juga ikut mempengaruhi kehidupan keluarga pribumi melalui jalur-jalur formal, misalkan melaui media pendidikan, hubungan pekerjaan, perdagangan, dan lain sebagainya. Selain gaya hidup dengan berbagai aspeknya, bangunan rumah tinggal mendapat perhatian dalam perkembangan budaya Indis, karena rumah tempat tinggal merupakan ajang kegiatan sehari-hari.
Arsitektur Indis merupakan hasil dari proses akulturasi yang panjang. Akulturasi dirumuskan sebagai perubahan kultural yang terjadi melalui pertemuan yang terus-menerus dan intensif atau saling mempengaruhi antara dua kelompok kebudayaan yang berbeda. Dalam pertemuan ini dapat terjadi tukar-menukar ciri kebudayaan, yang merupakan pembauran dari kedua kebudayaan tersebut. Atau dapat juga ciri kebudayaan yang satu demikian dominannya, sehingga menghapus ciri kebudayaan dari kelompok yang lain. Meskipun demikian dalam penggunaannya akhir-akhir ini cenderung diartikan terbatas hanya pada pengaruh satu kebudayaan atas kebudayaan yang lain (unilateral). Misalkan dalam hal pengaruh kebudayaan modern terhadap kebudayaan primitif.
Proses tersebut bisa timbul bila ada ;
(i) golongan-golongan manusia dengan latar kebudayaan yang berbeda-beda,
(ii) saling bergaul langsung secara intensif untuk jangka waktu yang relatif lama sehingga,
(iii)kebudayaan-kebudayaan dari golongan-golongan tadi masing-masing berubah saling menyesuaikan diri menjadi kebudayaan campuran. Proses yang timbul tersebut bisa terjadi jika terpenuhinya suatu prasyarat, yaitu bila terjadi saling penyesuaian diri sehingga memungkinkan terjadi kontak dan komunikasi sebagai landasan untuk dapat berinterkasi dan memahami diantara kedua etnis.
Keadaan alam tropis pulau Jawa menentukan dalam mewujudkan hasil karya budaya seperti bentuk arsitektur rumah tinggal, cara berpakaian, gaya hidup dan sebagainya. Wujud dari isi kebudayaan yang terjadi dalam proses akulturasi itu sekurang-kurangnya ada tiga macam, yaitu:
a) berupa sistem budaya (cultural system) yang terdiri dari gagasan, pikiran, konsep, nilai-nilai, norma, pandangan, undang-undang, dan sebagainya, yang berbetuk abstrak, yang dimiliki oleh pemangku kebudayaan yang bersangkutan merupakan ide-ide (ideas). Cultural System ini kiranya tepat disalin dalam bahasa Indonesia dengan “tata budaya kelakuan”.
b) berbagai aktivitas (activities) para pelaku seperti tingkah berpola, upacara-upacara yang wujudnya kongkret dan dapat diamati yang disebut social system atau sistem kemasyarakatan yang berwujud kelakuan.
c) berwujud benda (artifacts), yaitu benda-benda, baik dari hasil karya manusia maupun hasil tingkah lakunya yang berupa benda, yang disebut material culture atau hasil karya kelakuan.
Ciri-ciri Belanda pada bangunan rumah Indis pada tingkat awal bisa dimengerti karena pada awal kedatangannya mereka membawa kebudayaan murni dari negeri Belanda. Namun lama-kelamaan budaya mereka bercampur dengan kebudayaan Jawa sehingga hal tersebut ikut mempengaruhi gaya arsitektur rumah mereka. Selain itu perubahan pada bangunan mereka bisa pula dikarenakan iklim dan cuaca yang berbeda antara dinegeri Belanda dengan ditanah Jawa. Sehingga bangunan mereka disesuaikan dengan iklim dan lingkungan setempat.
Di Surakarta rumah bergaya Indis dengan ciri-ciri landhuis yang masih terawat rapi salah satu contohnya adalah rumah Agustinus De Zentje, yang sekarang menjadi rumah dinas Walikota Surakarta. Rumah ini memiliki bentuk bangunan yang besar dan luas. Kemewahannya terlihat dari berbagai ragam hias yang terdapat dirumah ini. Hal ini bisa dipergunakan sebagai tolak ukur derajat dan kekayaan pemiliknya. Gaya hidup yang cenderung dijadikan sebuah lambang status sosial yang tinggi. Rumah ini dikenal masyarakat Surakarta dengan sebutan Loji Gandrung.
Rumah sebagai tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan hidup yang utama bagi manusia disamping kebutuhan sandang dan pangan. Oleh sebab itu rumah dibutuhkan manusia bukan hanya sebagai tempat tinggal namun juga sebagai tempat berlindung dari ancaman alam.
Dalam menempati suatu bangunan rumah, pemiliknya berusaha dan bertujuan untuk mendapatkan rasa senang, aman, dan nyaman. Untuk mendapatkan ketentraman hati dalam menempati bangunan rumah ini, orang berusaha untuk memberi keindahan pada bangunan tempat tinggalnya. Maka dipasanglah berbagi macam hiasan, baik hiasan yang kontruksional atau yang tidak.
Arsitektur bukan hanya sebuah bangunan atau monumen yang tanpa jiwa. Arsitektur rumah tinggal sebagai hasil budaya merupakan perpaduan karya seni dan pengetahuan tentang bangunan, sehingga arsitektur juga membicarakan berbagai aspek keindahan dan kontruksi bangunan. Seorang arsitek dituntut bukan hanya membangun sebuah banguanan semata, tetapi juga harus memperhatikan aspek-aspek lainnya sehingga tersebut memiliki jiwa, karakter, yang menjadi ciri khas dari sebuah bangunan.
Gaya atau style dapat dijadikan identifikasi dari gaya hidup, gaya seni budaya, atau peradaban suatu masyarakat. Suatu karya yang berupa sebuah bangunan atau barang dapat dikatakan mempunyai gaya bilamana memiliki bentuk (vorm), hiasan (verseing) dari benda tersebut selaras (harmonis) dengan kegunaan dan bahan material yang dipergunakan.
Sebuah karya arsitektur merupakan sebuah karya seni yang rumit karena memadukan imajinasi khusus yang digabungkan dengan teori-teori bangun ruang, sehingga harus dipelajari dan disertai dengan latihan-latihan, serta percobaan-percobaan berulang kali.
Dalam arsitektur ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu;
1) masalah kenyamanan (convinience),
2) kekuatan atau kekukuhan (strength),
3) keindahan (beauty).
Ketiga faktor tersebut selalu hadir dan saling berkaitang erat dalam struktur bangunan yang serasi. Seorang arsitek yang arif tidak akan mengabaikan ketiga faktor tersebut. Ketiganya merupakan dasar penciptaan yang memberikan efek estetis.
Seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang bernama Henri Maclaine Pont berpendapat bahwa selain bentuk dan fungsi bangunan ada hal lain yang sama pentingnya yaitu adanya hubungan logis antara bangunan dengan lingkungan. Hal ini bisa diadaptasikan oleh orang-orang Belanda sebelum Maclaine Pont datang ke Hindia-Belanda. Bangunan-bangunan rumah landhuis mengadaptasi bangunan-bangunan rumah tradisional setempat yang sesuai dengan alam dan lingkungan sekitar, kemudian dipadukan dengan teknik bangaunan Eropa, serta kemegahan bangunan-bangunan Eropa serta keindahan dari ornamen-ornamennya. Dari sini lalu terciptalah bangunan-bangunan bergaya Indis yang mewah dan tidak lagi seperti bangunan dinegeri asalnya.

KESIMPULAN
Buku ini mengulas kebudayaan Indonesia yang berkembang di Jawa abad XVIII – media abad XX Di samping merebaknya sikap ketidakadilan serja pelanggaran hak-hak manusia yang dilakukan oleh kaum penjajah Belanda, ternyata pada waktu itu terjadi pula proses pembentukan kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan dan gaya hidup Indis. Budaya Indis yang merupakan perpaduan budaya barat dan unsur-unsur budaya Timur, khususnya Jawa, dibahas dengan rinci oleh penulis. Dengan bahan-bahan arsip serta karya-karya peningalan pada masa lampau yang terdapat di negeri Belanda dan di tanah air, terungkaplah kekayaan budaya kita pada masa penjajahan yang sangat unik.
Budaya Indies telah memberikan pengaruh pada banyak hal di Nusantara, khususnya di Jawa Timur tepatnya di kota Malang. Pengaruh-pengaruh tersebut dpat terlihat pada beberapa bentuk bangunan, khususnya bentuk rumah yang berpengaruh terhadap stratifikasi sosial. Hal tersebut menunjukkan suatu kondisi ironis, bahwa produk budaya bangsa yang penuh dengan nilai luhur, malah menunjukkan rendahnya derajat bangsa Indonesia pada masa kolonial. Namun ketika kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, terjadi pendobrakan nilai warisan kolonial Belanda. Ini berujung pada pembongkaran ukuran stratifikasi sosial kolonial Belanda. Hal ini pada akhirnya merubah fungsi bagian-bagian dari rumah.
Dari uraian di atas dapat ditarik suatu simpulan sebagai berikut:
(1). Pengaruh budaya indies dalam bentuk rumah terkait dengan stratifikasi sosial pada masa kolonialisme Belanda.
(2). Seiring dengan kemerdekaan bangsa Indonesia terjadi pembongkaran nilai-nilai yang diterapkan kaum kolonial Belanda. Hal ini diikuti adanya pergesaran nilai untuk mengukur status sosial tidak lagi memakai ukuran warna kulit. Implikasinya dalam menerima tamu tidak lagi dibeda-bedakan perlakuannya.

SARAN
Kami mengharapkan kebudayaan Indis tetap ada di Indonesia tetapi tidak menghilangkan kebudayaan Indonesia itu sendiri, agar menjadi peninggalan sejarah dari zaman kompeni sampai revolusi. Indonesia agar menjaga kelestarian budayanya dan tidak terpengaruh oleh budaya asing yang masuk bukan berarti menolak tapi menyortir budaya yang masuk dan menerimanya bila tidak bertentangan dengan budaya Indonesia.

Leave a comment »